Bagi sebagian orang, mendengar sebutan anak kolong akan
membayangkan anak manusia yang nakal, keras, kasar, tak memiliki sopan
santun, atau apalah yang menjurus ke arah negatif. Ada juga yang
memanggil orang ini sebagai preman kolong karena pola perilaku
keseharian mereka di masyarakat. Sebenarnya apa sih sejarah sampai anak-anak dari para prajurit TNI ini disebut sebagai anak kolong.
Saya
mendapat kiriman artikel dari seorang teman di sebuah grup yang saya
buat di forum Friendster. Grup tersebut saya buat hanya untuk sharing
pengalaman sebagai sesama anak kolong. Artikel pendek yang saya dapat
tersebut berisi sejarah singkat tentang asal-usul penamaan anak kolong.
Berikut petikkannya.
“Berawal dari masa
pemerintahan kolonial belanda sekitar tahun 40an,di kota magelang banyak
di dirikan barak oleh pemerintahan belanda ( yang sebagian bangunannya
masi ada sampai sekarang). Kali Manggis yang membelah kota Magelang
juga menjadi saksi kisah para anak kolong yang hidup penuh dengan
ancaman dan bahaya. Kata 'kolong' adalah tempat bersembunyi nya para
keluarga tentara ketika ada ancaman bom yang terdengar. Dengan bekal
yang seadanya,mereka bisa bertahan berhari hari agar selamat,sementara
para ayah mereka berjuang.”
Setelah saya membacanya saya menjadi sedikit lega. Sewaktu saya masih menjadi siswa SMP, saya sempat bertanya kepada ayah saya mengapa saya dipanggil anak kolong oleh para guru saya. Waktu itu ayah saya menjawab tidak tahu dan justru menyuruh saya untuk bertanya saja pada guru-guru saya di sekolah. Saya pun sempat bertanya kepada para guru SMP saya mengapa saya dipanggil anak kolong oleh mereka. Jawaban yang mereka berikan tidak mampu memuaskan saya karena mereka hanya menjawab bahwa anak kolong memang sebutan bagi anak tentara.
Jika saya mendapat informasi mengenai asal-usul anak kolong sewaktu saya SMP, maka pasti saya akan berdiri di lapangan upacara sekolah dan membacakan asal-usul tadi dihadapan semua guru dan siswa sewaktu upacara bendera. Tentunya saya bangga karena anak kolong juga punya sejarah.
Kembali pada sebutan anak kolong. Sebagai anak kolong yang sudah mampu berpikir, saya melihat persepsi yang diberikan oleh masyarakat mengenai anak kolong memang tidak berlebihan. Perilaku keras dan kasar yang diperlihatkan mereka dalam pergaulannya semakin menyuburkan persepsi masyarakat. Disini saya melihat bahwa perilaku seperti ini lahir dari pola hidup yang dijalankan dalam keluarga TNI pada umumnya.
Pola pendidikan disiplin yang sering diterapkan dalam keluarga TNI menjadi akar dari sikap kasar anak kolong dalam pergaulan antar sesamanya. Bagi sebagian besar anak kolong tentunya tidak asing lagi dengan sabetan kopel atau lemparan sepatu PDL. Hal itulah yang dialami oleh sebagian besar anak kolong jika mereka melakukan kesalahan. Samgat kontras jika kita membandingkannya dengan anak-anak sipil. Saya tertawa ketika ada seorang teman dari keluarga sipil yang menceritakan bilamana ia melakukan kesalahan dirumah ia “hanya” dibentak atau dijewer dan paling ekstrim adalah ditampar. Dan lebih lucu lagi, dengan perlakuan seperti itu banyak diantara anak-anak sipil tadi menangis sejadi-jadinya. Dengan melihat anak mereka menangis, para orang tua tersebut menjadi luluh hatinya dan balik mengasihi mereka.
Hal yang tabu bagi seorang anak kolong untuk mengeluarkan air mata. Sabetan kopel dan lemparan sepatu PDL menjadi hambar terasa ibarat terkena gigitan nyamuk. Ini disebabkan terlalu seringnya anak kolong menerima perlakuan tersebut.
Setelah saya membacanya saya menjadi sedikit lega. Sewaktu saya masih menjadi siswa SMP, saya sempat bertanya kepada ayah saya mengapa saya dipanggil anak kolong oleh para guru saya. Waktu itu ayah saya menjawab tidak tahu dan justru menyuruh saya untuk bertanya saja pada guru-guru saya di sekolah. Saya pun sempat bertanya kepada para guru SMP saya mengapa saya dipanggil anak kolong oleh mereka. Jawaban yang mereka berikan tidak mampu memuaskan saya karena mereka hanya menjawab bahwa anak kolong memang sebutan bagi anak tentara.
Jika saya mendapat informasi mengenai asal-usul anak kolong sewaktu saya SMP, maka pasti saya akan berdiri di lapangan upacara sekolah dan membacakan asal-usul tadi dihadapan semua guru dan siswa sewaktu upacara bendera. Tentunya saya bangga karena anak kolong juga punya sejarah.
Kembali pada sebutan anak kolong. Sebagai anak kolong yang sudah mampu berpikir, saya melihat persepsi yang diberikan oleh masyarakat mengenai anak kolong memang tidak berlebihan. Perilaku keras dan kasar yang diperlihatkan mereka dalam pergaulannya semakin menyuburkan persepsi masyarakat. Disini saya melihat bahwa perilaku seperti ini lahir dari pola hidup yang dijalankan dalam keluarga TNI pada umumnya.
Pola pendidikan disiplin yang sering diterapkan dalam keluarga TNI menjadi akar dari sikap kasar anak kolong dalam pergaulan antar sesamanya. Bagi sebagian besar anak kolong tentunya tidak asing lagi dengan sabetan kopel atau lemparan sepatu PDL. Hal itulah yang dialami oleh sebagian besar anak kolong jika mereka melakukan kesalahan. Samgat kontras jika kita membandingkannya dengan anak-anak sipil. Saya tertawa ketika ada seorang teman dari keluarga sipil yang menceritakan bilamana ia melakukan kesalahan dirumah ia “hanya” dibentak atau dijewer dan paling ekstrim adalah ditampar. Dan lebih lucu lagi, dengan perlakuan seperti itu banyak diantara anak-anak sipil tadi menangis sejadi-jadinya. Dengan melihat anak mereka menangis, para orang tua tersebut menjadi luluh hatinya dan balik mengasihi mereka.
Hal yang tabu bagi seorang anak kolong untuk mengeluarkan air mata. Sabetan kopel dan lemparan sepatu PDL menjadi hambar terasa ibarat terkena gigitan nyamuk. Ini disebabkan terlalu seringnya anak kolong menerima perlakuan tersebut.
Namun ada hal positif yang bisa saya ambil dari pola ajar seperti ini. Para anak kolong menjadi bisa lebih kuat dalam menghadapi tantangan hidup. Karena diajar dengan disiplin tinggi, anak kolong menjadi tidak gampang menyerah dengan keadaan dan selalu berjuang dalam mencapai sesuatu.
Anak kolong adalah sebutan dalam bahasa sehari-hari untuk anak tentara atau anak yang besar di tangsi tentara. Istilah ini telah dipakai sejak masa penjajahan Belanda di Indonesia.
Asal-usul istilah ini berasal dari keadaan tangsi anggota KNIL yang sangat memprihatinkan. Tentara yang berkeluarga ditempatkan pada asrama dengan ukuran kecil dan berhimpitan. Karena kecilnya ruangan, seringkali tidak cukup untuk ditempati lebih dari satu tempat tidur. Akibatnya anak-anak terpaksa tidur di bagian bawah dipan (kolong). Dari sinilah muncul istilah tersebut.
Sebuah film drama Belanda produksi tahun 2008, Ver Van Familie ("Jauh dari Keluarga"), menceritakan tentang seorang anak kolong yang kemudian bermukim di Belanda
mantaappp
BalasHapusKak ada yang nantangin koloni Sudirman namanya Saskia kak rumahnya di jln Sekar Sari terima kasih kak
BalasHapusHidup anak kolong
BalasHapus